Post pada 19 Jun 2025
Bunda, pernahkah merasa selalu ingin tahu dan terlibat dalam setiap aspek kehidupan Si Kecil? Mulai dari mengatur jadwal belajarnya, memilihkan teman bermain, sampai ikut campur saat Si Kecil menghadapi masalah sepele sekalipun? Jika jawabannya iya, mungkin secara tidak sadar Bunda sedang menerapkan pola asuh yang populer disebut Helicopter Parenting.
Helicopter parenting adalah gaya pengasuhan di mana orang tua terlalu terlibat dan mengontrol kehidupan anak-anak mereka. Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1969 dalam buku “Between Parent & Teenager” karya Dr. Haim Ginott.
Ia menggambarkan orang tua yang “melayang-layang” di atas anak-anak mereka, selalu siap untuk campur tangan pada tanda bahaya sekecil apa pun, mirip seperti helikopter yang terus memantau dari atas. Tujuannya tentu mulia, Bunda.
Para orang tua ingin melindungi Si Kecil dari kegagalan, kekecewaan, dan kesulitan. Mereka ingin memastikan Si Kecil selalu aman, sukses, dan bahagia. Namun, apakah benar pola asuh anak seperti ini selalu memberikan dampak positif?
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, akses terhadap berbagai teori pengasuhan semakin mudah. Banyak orang tua merasa perlu untuk memberikan yang terbaik bagi Si Kecil, dan terkadang hal ini diartikan sebagai “memberikan segalanya” atau “mengatur segalanya”. Rasa cemas akan masa depan Si Kecil, tekanan dari lingkungan sosial, serta keinginan untuk melihat Si Kecil berhasil di segala bidang, seringkali menjadi pemicu orang tua untuk menjadi “helikopter”.
Bunda mungkin sering mendengar atau bahkan merasakan sendiri, bagaimana persaingan di sekolah semakin ketat, lapangan kerja semakin menantang, dan dunia terasa semakin tidak aman. Kondisi inilah yang kadang membuat orang tua merasa perlu untuk “memegang kendali” lebih erat atas kehidupan Si Kecil.
Fenomena helicopter parenting ini tidak hanya terjadi di Indonesia, lho, Bunda. Di berbagai negara maju pun, pola asuh ini semakin marak. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk memahami lebih dalam apa sebenarnya helicopter parenting ini, bagaimana ciri-cirinya, dan yang terpenting, apa dampaknya bagi tumbuh kembang Si Kecil.
Pemahaman yang komprehensif tentang hal ini sangat penting, agar kita sebagai orang tua bisa mengevaluasi diri dan mengambil langkah yang tepat demi masa depan Si Kecil yang lebih cerah. Karena, pada dasarnya, setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya, bukan?
Mungkin Bunda bertanya-tanya, apakah saya termasuk “helikopter mom”? Nah, ada beberapa ciri khas yang bisa jadi petunjuk, lho. Bukan untuk menghakimi, ya, Bunda, tapi lebih untuk introspeksi.
Berikut adalah ciri-ciri yang mungkin Bunda temukan dalam pola asuh sendiri jika menerapkan helicopter parenting:
Pernahkah Bunda menelepon guru Si Kecil karena ia mendapat nilai kurang memuaskan, padahal Si Kecil sendiri belum berusaha maksimal? Atau Bunda selalu mengurusi PR Si Kecil sampai tuntas, bahkan ketika Si Kecil sebenarnya mampu mengerjakannya sendiri? Orang tua yang menerapkan helicopter parenting cenderung tidak memberikan ruang bagi Si Kecil untuk mencoba dan mengalami kesulitan sendiri. Mereka merasa perlu untuk selalu “menyelamatkan” Si Kecil dari setiap tantangan, sekecil apapun itu.
Mulai dari pilihan baju, makanan, teman bermain, hingga ekstrakurikuler, semua Bunda yang memutuskan. Si Kecil tidak diberi kesempatan untuk memilih atau mengemukakan pendapatnya. Tentu saja, sebagai orang tua, kita punya pengalaman dan tahu mana yang terbaik. Tapi, apakah Si Kecil tidak punya hak untuk belajar membuat keputusan sendiri? Ketika Si Kecil selalu diatur, ia akan kesulitan mengembangkan kemandiriannya. Ia akan terbiasa bergantung pada orang lain untuk setiap langkahnya.
Pujian memang penting untuk membangun kepercayaan diri anak. Namun, pujian yang berlebihan dan tidak realistis bisa berdampak negatif. Si Kecil bisa jadi merasa bahwa ia selalu harus sempurna dan tidak boleh salah. Mereka juga bisa jadi kurang termotivasi untuk berusaha lebih keras karena merasa sudah “cukup” dengan pujian yang ada.
Wajar saja, Bunda, kita pasti ingin Si Kecil selalu aman. Tapi, jika kekhawatiran ini sampai membuat Bunda tidak mengizinkan Si Kecil bermain di luar, bersosialisasi dengan teman-teman, atau bahkan mencoba hal baru karena takut Si Kecil terluka atau gagal, ini bisa jadi tanda atau helicopter parenting. Hidup ini penuh dengan risiko, dan bagian dari tumbuh kembang si Kecil adalah belajar bagaimana menghadapi dan mengatasi risiko tersebut.
Apakah Bunda sering menelepon sekolah Si Kecil untuk menanyakan hal-hal yang sebenarnya bisa Si Kecil sampaikan sendiri? Atau selalu mengecek keberadaan Si Kecil melalui aplikasi pelacak setiap waktu? Tentu saja, kita perlu tahu keberadaan Si Kecil. Namun, ketika ini menjadi kebiasaan yang berlebihan, Si Kecil bisa merasa terkekang dan kurang percaya diri. Ia mungkin merasa bahwa orang tuanya tidak mempercayainya untuk mandiri.
Mengenali ciri helicopter parenting ini bukan berarti Bunda adalah orang tua yang buruk, ya. Ini hanya awal dari perjalanan untuk memahami lebih dalam bagaimana pola asuh kita memengaruhi Si Kecil. Setiap orang tua ingin yang terbaik, dan kesadaran adalah langkah pertama menuju perubahan positif.
Bunda, meskipun niatnya baik, helicopter parenting ternyata bisa membawa beberapa dampak negatif yang mungkin tidak kita sadari pada Si Kecil. Jangan sampai niat baik kita justru menghambat tumbuh kembang optimal buah hati, ya.
Berikut adalah beberapa dampak negatif yang mungkin muncul pada Si Kecil akibat helicopter parenting:
Bayangkan saja, jika Si Kecil selalu diatur dan semua keputusannya diambilkan, bagaimana ia akan belajar mandiri? Si Kecil jadi tidak terbiasa mengambil inisiatif dan cenderung menunggu instruksi. Mereka juga bisa jadi kurang percaya diri karena merasa tidak mampu melakukan banyak hal sendiri. Ketika menghadapi masalah, Si Kecil akan cenderung panik dan langsung mencari bantuan orang tua, bukan mencari solusi sendiri.
Hidup ini tidak selalu mulus, Bunda. Ada kalanya kita harus menghadapi kegagalan dan kekecewaan. Jika Si Kecil selalu “diselamatkan” dari setiap kesulitan, ia tidak akan belajar bagaimana menghadapi perasaan tidak nyaman ini. Ketika nanti beranjak dewasa dan menghadapi kegagalan yang sebenarnya, mereka bisa jadi merasa sangat terpukul dan tidak tahu bagaimana cara bangkit kembali. Mereka tidak memiliki “senjata” emosional untuk mengatasi kesulitan.
Orang tua yang “melayang-layang” seringkali juga ikut campur dalam pergaulan Si Kecil. Mungkin Bunda sering memilihkan teman untuk Si Kecil atau bahkan melarang Si Kecil berteman dengan seseorang. Akibatnya, Si Kecil jadi kurang punya kesempatan untuk belajar bersosialisasi, menyelesaikan konflik dengan teman, atau membangun hubungan yang sehat. Mereka bisa jadi canggung atau bahkan takut untuk berinteraksi dengan orang lain karena terbiasa ada orang tua yang “memback-up” di belakangnya.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua helikopter cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Mereka mungkin merasa tertekan untuk selalu sempurna, takut membuat kesalahan, dan merasa tidak memiliki kontrol atas hidup mereka sendiri. Tekanan yang terus-menerus ini bisa berujung pada masalah kesehatan mental, seperti depresi. Mereka mungkin merasa bahwa kebahagiaan mereka bergantung pada persetujuan orang tua, bukan pada diri mereka sendiri.
Ketika semua sudah diatur dan direncanakan oleh orang tua, Si Kecil jadi tidak punya ruang untuk bereksplorasi dan menemukan minatnya sendiri. Mereka mungkin hanya melakukan sesuatu karena disuruh, bukan karena keinginan dari dalam diri. Hal ini bisa menghambat perkembangan motivasi intrinsik dan kreativitas mereka. Si Kecil jadi kurang berani mencoba hal-hal baru atau berpikir di luar kotak, karena terbiasa mengikuti jalur yang sudah ada.
Memang, niat kita sebagai orang tua adalah yang terbaik. Namun, penting bagi kita untuk menyadari bahwa terkadang, “terlalu banyak” itu bisa jadi “terlalu buruk” bagi Si Kecil. Memberikan ruang bagi Si Kecil untuk tumbuh, berkembang, dan belajar dari kesalahan adalah investasi terbaik untuk masa depan mereka yang mandiri dan bahagia.
Setelah memahami dampak negatif helicopter parenting, mungkin Bunda bertanya, lalu bagaimana solusinya? Bukan berarti kita harus cuek pada Si Kecil, ya, Bunda. Justru, kita perlu bergeser dari peran “helikopter” yang selalu melayang-layang, menjadi “nakhoda” yang membimbing dan memberikan arah, sambil membiarkan Si Kecil mengendalikan kemudi sesekali.
Berikut adalah langkah-langkah yang bisa Bunda terapkan untuk membangun kemandirian Si Kecil:
Mulailah dari hal-hal sederhana, seperti memilih baju yang akan dipakai, menu sarapan, atau buku cerita yang ingin dibaca. Ini melatih Si Kecil untuk membuat pilihan dan memahami konsekuensinya. Meskipun pilihannya mungkin tidak sempurna di mata kita, biarkan mereka belajar dari sana. Ingat, kemampuan mengambil keputusan adalah keterampilan hidup yang sangat penting.
Tentu, bukan berarti membiarkan Si Kecil kesulitan tanpa bantuan. Namun, ketika Si Kecil menghadapi masalah seperti PR yang sulit, konflik dengan teman, atau mainannya rusak, berikan kesempatan padanya untuk berpikir dan mencari solusi terlebih dahulu. Bunda bisa bertanya, “Menurutmu, apa yang bisa kamu lakukan?” atau “Bagaimana cara kita mengatasi ini?”. Ini melatih Si Kecil untuk berpikir kritis dan kreatif. Jika memang perlu bantuan, Bunda bisa memberikan arahan, bukan langsung menyelesaikan masalahnya.
Mulai dari merapikan mainan, membereskan tempat tidur, membantu menyiapkan meja makan, atau menyiram tanaman. Tanggung jawab ini mengajarkan Si Kecil tentang kontribusi, disiplin, dan rasa memiliki. Ketika mereka merasa punya peran dalam keluarga, rasa percaya diri mereka akan meningkat. Ini juga melatih mereka untuk menjadi individu yang bertanggung jawab di masa depan.
Ketika Si Kecil berhasil, pujilah usahanya, bukan hanya hasilnya. Misalnya, “Hebat, kamu sudah berusaha keras untuk menyelesaikan PR ini!” daripada “Wah, nilaimu sempurna!”. Jika Si Kecil gagal, bimbing mereka untuk belajar dari kesalahan tersebut. “Tidak apa-apa, Nak. Kita coba lagi dan cari tahu apa yang bisa kita perbaiki.” Pendekatan ini mengajarkan ketahanan dan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar.
Bunda juga bisa memberikan reward saat si kecil berhasil menyelesaikan tugasnya, memberikan camilan sehat atas kerja kerasnya tidaklah berlebihan. Bunda bisa memberikan Milkita Bites untuk Si kecil agar ia makin bersemangat.
Biarkan Si Kecil bermain dengan berbagai macam teman, berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler yang mereka minati, atau mencoba hobi baru. Ini memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial, menemukan minat dan bakatnya, serta belajar beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Kita sebagai orang tua bisa mengawasi dari kejauhan, memberikan dukungan, dan menjadi tempat Si Kecil bercerita.
Membangun kemandirian Si Kecil memang membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk “melepaskan” sedikit. Tapi percayalah, Bunda, dengan memberikan ruang yang cukup, Si Kecil akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat, tangguh, dan percaya diri. Mereka akan siap menghadapi dunia dengan segala tantangannya.
Bunda, kita semua sepakat bahwa setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk Si Kecil. Niat baik untuk melindungi dan memastikan kesuksesan Si Kecil adalah hal yang wajar. Namun, penting untuk diingat bahwa kasih sayang yang berlebihan dalam bentuk helicopter parenting bisa jadi pisau bermata dua. Alih-alih mempersiapkan Si Kecil untuk masa depan, pola asuh ini justru berpotensi menghambat perkembangan kemandirian, kepercayaan diri, dan ketangguhan mereka.
Memberikan ruang bagi Si Kecil untuk membuat kesalahan, belajar dari pengalaman, dan menghadapi tantangan adalah kunci untuk membentuk pribadi yang adaptif dan resilient. Tugas kita sebagai orang tua bukanlah menjadi “penyelamat” yang selalu ada di atas kepala Si Kecil, melainkan menjadi “pemandu” yang memberikan dukungan, arahan, dan kepercayaan bahwa Si Kecil mampu melewati setiap rintangan.
Mulai sekarang, yuk, kita coba bergeser. Berikan kepercayaan pada Si Kecil, dorong mereka untuk berani mencoba, dan biarkan mereka menemukan jalannya sendiri. Hasilnya? Si Kecil yang mandiri, kreatif, tangguh, dan siap menghadapi dunia, serta Bunda yang lebih tenang dan bahagia melihat buah hati tumbuh optimal.
Bunda bisa temukan artikel parenting lainnya di Instagram @Unifam.id. Dan pastinya, jangan lupa belanja produk-produk Unifam hanya di Toko Official Unifam di Shopee dan Tokopedia biar lebih aman dan pasti asli!